Pelabelan kandungan bisphenol-A (BPA) pada kemasan plastik berbahan polikarbonat (PC) disarankan untuk dimasukkan ke dalam revisi peraturan pemerintah (PP) tentang label iklan pangan.

Hal itu disampaikan Staf Khusus Kedeputian 2 Kantor Staf Presiden (Stafsus Kedeputian 2 KSP) Brian Sriprahastuti saat pertemuan antara Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia (CSWM UI) dengan KSP di Jakarta.

Hadir juga dalam kegiatan itu perwakilan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), serta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).

Brian mengatakan, sejak tahun 2018, KSP tengah menyusun draf revisi PP tentang label iklan pangan. Akan tetapi, ia mengaku bahwa proses penyusunan revisi itu belum selesai karena harus melibatkan berbagai sektor terkait. Sebagai contoh, PP tentang label iklan pangan tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga sektor perdagangan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan.

Sejauh ini, kata Brian, masalah pelabelan masih sebatas pada pencantuman kandungan gizi dan belum menyentuh pada pencantuman kandungan substansi tertentu pada kemasan suatu produk. Ia mempersilakan agar isu tentang ketentuan pemberian label yang mencantumkan kandungan BPA dalam kemasan produk makanan dan minuman diusulkan untuk diakomodir dalam revisi PP tentang label iklan pangan.

“Jika hal ini akan diangkat, sebaiknya tidak usah membuat peraturan baru, tetapi diusulkan untuk masuk dalam bagian PP tentang label iklan pangan,” kata Brian.

Dalam pertemuan itu, Kepala CSWM UI Mochamad Chalid menekankan bahwa label tentang kandungan BPA dalam kemasan diperlukan untuk keselamatan bangsa, terutama terkait dengan masalah kesehatan pada anak dan generasi muda. “Pelabelan ini merupakan satu hal yang urgent menurut kami, mengingat bahwa di masyarakat kita penggunaan galon sudah sangat luar biasa, dan itu sudah menjadi suatu hal yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat kita. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah adanya aturan tentang standar umur pakai dan standar untuk penggunaan kemasan. Selain itu, penggunaan bahan PC juga perlu untuk ditinjau ulang,” kata Mochamad Chalid.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh pihaknya, penggunaan kemasan air minum, terutama galon berbahan PC yang mengandung BPA tidak hanya dilakukan oleh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek, tetapi juga pengusaha air isi ulang tidak bermerek berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ia memberi contoh penelitan CSWM UI yang menemukan penggunaan kemasan galon berbahan PC pada AMDK tidak bermerek berbasis UMKM di beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Batusangkar, Padang Pariaman, dan Payakumbuh. Dalam hal ini, Chalid menggarisbawahi perlunya perlindungan konsumen AMDK hingga ke daerah-daerah, karena konsumsi AMDK sudah menjadi kebutuhan masyarakat secara umum, mengingat ketersediaan air bersih langsung dari sumbernya sudah makin terbatas.

Selain aspek kesehatan, Chalid menggarisbawahi pentingnya kajian pada aspek engineering dan ekonomi bagi suatu kemasan plastik. Ia menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mencegah migrasi substansi berbahaya ke dalam tubuh manusia melalui kemasan adalah dengan mengatur desain, standar umur pakai, serta standar penggunaan suatu bahan kemasan.

Menurut Chalid, produsen sebaiknya melakukan inovasi untuk mendapatkan galon yang aman dan sehat sebagai kemasan produk AMDK sebagai konsekuensi penyesuaian umur pakai dan jumlah kali dari penggunaan. Di antaranya dengan menggunakan metode post-consumer resin atau PCR, yaitu suatu cara daur ulang kemasan plastik dengan mencacah galon yang telah digunakan menjadi resin plastik. Selanjutnya, resin itu dicampur dengan resin baru yang belum pernah digunakan dengan komposisi tertentu untuk kemudian dibentuk menjadi kemasan baru.

Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Agustina Puspitasari mengetengahkan efek negatif penggunaan BPA bagi kesehatan. Paparan BPA, kata dia, dapat mempengaruhi fisiologi yang dikendalikan hormon endokrin. Selain itu, BPA dapat mempengaruhi perkembangan otak pada janin yang sedang dikandung, peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2, serta penyakit kardiovaskular.

“Sudah banyak studi yang meneliti bahwa ditemukannya konsentrasi BPA di dalam urin berhubungan dengan turunnya kualitas sperma. Kemudian pada wanita hamil dengan paparan BPA selama prenatal berhubungan dengan perilaku agresif dan hiperaktif anak, terutama pada anak perempuan,” kata dia.

Agustina lebih lanjut menjelaskan  bahwa penggunaan kemasan BPA telah semakin diawasi di berbagai negara. Sebagai contoh, Kanada telah mengklasifikasikan BPA sebagai zat beracun dan menetapkan larangan terbatas penggunaan BPA. Pada tahun 2011, Uni Eropa (UE) telah mengeluarkan yang melarang penggunaan bahan mengandung BPA untuk botol susu bayi.

Di Amerika Serikat, negara bagian California telah mewajibkan produsen yang menggunakan kemasan dengan kandungan BPA untuk mencantumkan label yang menerangkan bahwa produk itu mengandung BPA yang menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi. Bahkan, beberapa negara seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia telah melarang penggunaan kemasan mengandung BPA pada kemasan kotak pangan untuk konsumen pada rentang usia 0 (nol) hingga 3 tahun.

Untuk itu, menurut Agustina, PB IDI mendukung upaya pelabelan kandungan BPA pada kemasan produk yang akan dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, PB IDI sangat mendukung upaya edukasi konsumen untuk mengetahui upaya yang dapat mencegah migrasi BPA ke dalam tubuh. Antara lain, untuk tidak menyimpan kemasan di bawah suhu tinggi dalam waktu lama, serta tidak menggosok atau menyikat permukaan kemasan. 

Sumber : Tempo

Share.
Exit mobile version