Yayasan Romang Celebes (YRC) Indonesia mengekspose pendataan eksploitasi komoditas perikanan jenis teripang di Pulau Sapuka, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan (Sulsel).
“Salah satu masalah yang dihadapi pada komoditas teripang ini adalah kurangnya data. Kalau kita cari referensi data penangkapan teripang itu sulit ditemukan,” ujar Direktur YRC Indonesia Awaluddin, saat Ekspose Pendataan Teripang, di Cafe Mauki Makassar, Sulsel, Kamis (18/7).
Berdasarkan data YRC Indonesia, ada 10 spesies teripang yang hidup di sekitar Pulau Sapuka sesuai penamaan warga setempat. Masing-masing, teripang Cera Merah, Koro, Talekong, Kapo, Donga, Pisang-Pisang, Polos, Binti, Pandang, dan Gama. Jenis teripang ini harganya bervariasi.
Data yang dihimpun, jumlah penangkapan spesies teripang sejak Maret-Oktober 2022 tercatat sebanyak 1.311 ekor. Paling banyak ditangkap nelayan yakni Teripang Polos 339 ekor, disusul jenis Kapo/Ballang Ulu 236 ekor, jenis Cera Merah 161 ekor, jenis Donga 106 ekor.
Selanjutnya, jenis Binti 122 ekor, jenis Gama 96 ekor, jenis Koro 76 ekor, jenis Pisang-Pisang 63 ekor, jenis Cera-Cera 51 ekor, jenis Talengko 42 ekor, dan jenis Bangkuli 13 ekor.
Sedangkan data yang diambil sejak Oktober 2023 sampai Juni 2024, eksploitasi teripang mengalami kenaikan signifikan, tercatat sebanyak 1.535 ekor sudah diambil nelayan.
Teripang jenis Koro paling banyak diambil yaitu 299 ekor, disusul jenis Polos 270 ekor, jenis Donga 266 ekor, jenis Binti 220 ekor, jenis Gama 148 ekor, jenis Cera Mata 132 ekor, jenis Kawas dan TKK 18 ekor, jenis Pisang-Pisang 13 ekor serta jenis Kunyi 12 ekor.
Jika melihat hasil tangkapan teripang di Pulau Sapuka masih didominasi lima jenis, seperti Teripang Polos, Donga, Koro, Kapo dan Binti. Lokasi penangkapan didominasi oleh substrat berpasir, lamun dan terumbu karang pada kedalaman 2-10 meter di dalam laut.
Berdasarkan hasil Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada 2019, ada tiga jenis teripang disepakati masuk dalam Appendix II atau spesies dilindungi pada pertemuan Conference of The Parties (COP) ke-18 di Geneva, Swiss berkaitan masifnya penangkapan teripang.
Ketiga jenis teripang tersebut adalah Holothuria nobilis (Cera Hitam), Holothuria whitmaei (Susu Hitam) atau Koro, Holothuria fuscogilva (Susu Putih) atau Polos.
Melalui pertemuan ini, YRC Indonesia mendorong melalui proyek kerja sama dengan Organisasi Burung Indonesia khusus mendata tangkapan teripang untuk berkolaborasi bersama stakeholder terkait dalam hal pelestarian habitat khususnya spesies teripang.
“Memang skopnya kecil di Pulau Sapuka, tapi paling tidak itu menjadi dasar di pemangku kebijakan. Siapa saja, perguruan tinggi, pemda, dinas terkait secara saintifik sebagai pijakan mendukung pengembangan teripang ke depan,” ujarnya pula.
Pihaknya berharap, kegiatan ekspose pendataan tersebut yang dihadiri perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Sulsel, BKSDA, CDA Pangkep, DKP Pangkep, Lurah Sapuka, Camat Liukang Tangaya, BP2MHKP, dan pengusaha teripang serta jurnalis tujuannya dapat berkolaborasi.
“Tujuan sebenarnya ada dua. Pertama, kami menyebarluaskan informasi data teripang, potensi teripang yang ada di Sapuka. Kedua, membuka ruang kerja sama. Jadi, ada peluang kerja sama yang dikolaborasikan bersama pihak terkait, stakeholder, pemerintah, pengusaha dan lainnya,” ujar Awal.
“Kami temukan teripang tangkapan nelayan sebenarnya masuk kategori Appendix II atau dilindungi, tapi nyatanya praktik di lapangan, pengusaha, nelayan tidak mematuhi aturan itu. Ekspose ini sekaligus umpan balik, kami ingin mendapat respons dari berbagai pihak, apa yang diinisiasi bisa dikembangkan terus-menerus,” katanya menekankan.