NUSANTARA, tak bisa lepas dari kekuatan besar maritimnya.
Dengan kondisi geogafis yang terdiri dari ribuan pulau, maka sangat wajar bila sebuah negara mesti ditopang dengan kekuatan laut yang mumpuni.
Konsep ini pula yang telah digagas sejak lampau, oleh kerajaaan besar di negeri ini. Yang kemudian, terkini menjadi kekuatan bersama di bawah naungan negara bernama Indonesia.
Bagaimana sejarah penamaan nusantara? Simak artikel berikut hingga tuntas.
Sebelum Masehi, Nusantara merupakan sebutan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang terbentang dari ujung Sumatera hingga Papua.
Dikutip pada laman nusantarapos, disebutkan asal usul nusantara pertama kali tercetus dalam literatur berbahasa Jawa, kurang lebih di abad ke-12 hingga abad ke-16 untuk memberi gambaran kenegaraan yang dianut oleh Kerajaan Majapahit.
Konsep Nusantara ini pernah terlupakan selama beratus tahun lamanya.
Namun istilah ini kembali digaungkan di abad 20 oleh Ki Hajar Dewantara yang saat itu, mengemukakan nama Nusantara sebagai alternatif nama dari negara Indonesia ketika merdeka menggantikan nama Hindia Belanda.
Meski tidak menjadi nama negara, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim atau nama lain dari kepulauan Indonesia. Pengertian ini masih dipakai sampai sekarang.
Pada literatur lain, St. Munadjat Danusaputro guru besar hukum laut dan lingkungan menyebut, kata Nusantara merupakan terjemahan dari kata Dwipantara (bahasa Sansekerta).
Kata Dwipantara ini bisa ditemukan dalam kitab Ramayana yang ditulis pada 300-415 masehi.
Dwipantara berarti kumpulan pulau yang terletak di antara muasa sungai Gangga dan pelabuhan di Cina.
“Dalam terjemahannya menjadi Nusantara. Artinya menunjukkan kumpulan pulau-pulau di luar Majapahit,” kata Munadjat seperti dilansir historia.id.
Kata Nusantara ini juga bisa ditemukan dalam kitab Negarakertagama. Artinya pulau-pulau di luar Jawa. Dalam kitab karya Mpu Prapanca ini Nusantara juga disebut Sadwipantara, Degantara, dan digantara.
Menurut Munadjat, kata Nusantara untuk pertama kalinya ditemukan dalam prasasti Penampihan.
Prasasti yang disebut juga dengan prasasti Gunung Wilis ini dikeluarkan Kertanagara, raja terakhir Singhasari pada 1911 Saka atau 1269 Masehi.
Penyebutan prasasti Gunung Wilis ini mengacu pada tempat ditemukannya benda itu yakni di lereng Gunung Wilis, Jawa Timur.
Hal ini, kata Munadjat, bisa dilihat dari temuan JLA Brandes, ahli filologi, epigrafi, dan leksikografi Belanda. Dalam prasasti itu tertulis, “ya, paranitijna, nusantaramadhuranathanklakarana…” Artinya, “ya, ahli dalam politik luar negeri, bersahabat dengan raja-raja Madura dan Nusantara…”
Dalam perkembangannya, perlu diketahui era nusantara dijalankan di zaman majapahit dan modern:
Nusantara di Mata Majapahit
Di abad ke-13 hingga abad ke-15, konsep kenegaraan yang dianut oleh kerajaan-kerajaan Jawa pada saat itu adalah Raja-Dewa.
Arti dari Raja-Dewa adalah raja yang menduduki tahta pada saat itu dan memerintah adalah penjelmaan dewa.
Oleh sebab itulah, daerah kekuasaan kerajaan tersebut harus memancarkan kekuasaan seorang dewa. Konsep ini dipakai oleh Kerajaan Majapahit.
Majapahit membagi wilayah negara menjadi tiga bagian:
1. Negara Agung.
Wilayah ini mencakup daerah sekeliling ibu kota kerajaan di mana sang raja memerintah.
Yang tercakup dalam mancanegara menurut Kerajaan Majapahit adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitarnya yang memiliki kemiripan budaya dengan Negara Agung.
Menilik dari sudut pandang ini, Madura, Bali, Lampung dan Palembang dianggap sebagai mancanegara.
Majapahit menyebut nama Nusantara untuk pulau lain di luar pulau Jawa yang budayanya tidak dalam pengaruh budaya Jawa.
Namun Kerajaan Majapahit masih menganggap Nusantara sebagai daerah taklukan, dalam artian penguasanya harus membayar upeti ke Majapahit.
Dalam Sumpah Palapa Gajah Mada mengatakan; “Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak akan berhenti berpuasa. Ia Gajah Mada, jika berhasil mengalahkan pulau-pulau lain, saya (akan) berhenti berpuasa.
Jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan berhenti berpuasa.”
Gajah Mada dalam kitabnya Negarakertagama menyebutkan bahwa wilayah Nusantara mencakup sebagian wilayah modern Indonesia saat ini, antara lainnya adalah Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan sekitarnya, sebagian Maluku dan Papua Barat ditambah dengan Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan.
2. Dwipantara
Banyak sejarawan Indonesia saat ini memercayai bahwa Gajah Mada bukanlah pencetus pertama konsep kesatuan Nusantara seperti yang disebutkannya dalam Sumpah Palapa di tahun 1336.
Menurut sejarawan, pencetus kata Nusantara pertama kali dilakukan setengah abad lebih awal, tepatnya tahun 1275 oleh Kertanegara.
Kertanegara, Raja Singhasari pada saat itu mengemukakan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara, yang dalam bahasa Sansekerta memiliki arti Kepulauan Antara. Makna dari Kepulauan Antara ini sama persis dengan Nusantara.
Dwipa adalah persamaan kata dari nusa yang berarti pulau.
Kertanegara mengidam-idamkan sebuah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di Asia Tenggara pada saat itu dengan Singasari sebagai puncak kekuasaan tertinggi.
Ia memiliki wawasan Nusantara untuk persiapan menghadapi serangan bangsa Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok.
Dengan alasan itulah Kertanegara mengadakan Ekspedisi Pamalayu.
Tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menjalin persatuan dan menghimpun kekuatan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi.
Banyak yang menyangka ekspedisi ini awalnya adalah sebuah penaklukan secara militer.
Namun belakangan muncul dugaan bahwa ekspedisi ini bersifat diplomatis dengan cara untuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya.
Bukti dari ekspedisi ini bersifat diplomatis, bukannya penaklukan militer adalah persembahan Arca Amoghapasa yang dihadiahkan untuk penguasa dan rakyat Malayu dengan harapan bisa mengambil hati mereka.
Persembahan ini disambut dengan gembira oleh Raja Malayu dan sebagai balasan, ia mengirimkan kedua putrinya Dara Jingga dan Dara Petak ke Pulau Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa di Pulau Jawa.
Nusantara di Jaman Modern
Di tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara kembali memperkenalkan nama Nusantara setelah sekian lama menghilang untuk mengganti nama Hindia Belanda.
Nusantara diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara karena nama ini tidak memiliki unsur bahasa asing, yakni India. Hal ini dikemukakan karena penjajah Belanda lebih senang memakai istilah Indie (Hindia) yang berujung pada kerancuan dengan literatur berbahasa lain.
Selain Nusantara, istilah lainnya yang ikut bersaing adalah Indonesie (Indonesia) dan Insulinde (Hindia Kepulauan).
Istilah Insulinde dikemukakan oleh Eduard Douwes Dekker. Namun akhirnya Indonesia ditetapkan sebagai nama kebangsaan di Kongres Pemuda Kedua di tahun 1928.
Namun bukan berarti nama Nusantara tenggelam lagi seperti sebelumnya.
Di jaman sekarang, Nusantara identik sebagai sinonim dari Indonesia, baik dinilai dari sudut antropo-geografik, seperti yang digunakan oleh iklan-iklan televisi atau pun dalam pembahasan politik.
Ketika nama Nusantara tidak digunakan sebagai nama politis, istilah ini tetap digunakan oleh bangsa Indonesia untuk mengacu pada wilayah negara Indonesia.
Di penghujung Perang Pasifik, dinamika politik memunculkan wacana Indonesia Raya yang mana wilayahnya mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara.
Banyak warga Semenanjung Malaya pun menggunakan istilah Nusantara karena adanya semangat kesamaan latar belakang asal usul, yakni serumpun Melayu di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Namun ketika negara Malaysia berdiri (1957), semangat kebersamaan di bawah nama Nusantara runtuh berantakan diakibatkan permusuhan dan politik konfrontasi yang digembar gemborkan Soekarno.
Meski sempat bermusuhan, namun ketika semua masalah sudah selesai, pengertian Nusantara tetap memiliki semangat kesamaan serumpun untuk pengertian Nusantara di Malaysia.
Sementara itu, terkini nama Nusantara kembali digaungkan dengan adanya rancangan penamaan ibukota negara yang baru di Pulau Kalimantan.
Source : Disway