Bakar batu merupakan sebuah tradisi sekaligus media silaturahmi bagi masyarakat Papua. Tradisi ini dilakukan dengan cara memasak bersama-sama (traditional massal cooking).
Dahulu, masyarakat Papua melakukan tradisi ini dengan membakar daging babi. Namun, kuatnya bentuk toleransi yang terjalin membuat masyarakat tak melulu menggunakan daging babi dalam tradisi ini, melainkan daging ayam.
Bahkan, di komunitas muslim Papua, misalnya di daerah Walesi Jayawijaya dan komunitas muslim Papua daerah lain, mereka juga melakukan tradisi bakar batu untuk menyambut Ramadan. Tentu saja, mereka menggunakan daging ayam dalam tradisi tersebut.
Mengutip dari indonesia.go.id, dalam sejarahnya, bakar batu merupakan pesta daging babi bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Namun, saat ini di sejumlah tempat, pesta bakar batu sudah tak melulu menggunakan daging babi, tetapi juga menyediakan daging ayam.
Saat akan melakukan tradisi bakar batu, biasanya masyarakat akan sibuk mempersiapkan peralatan sejak pagi hari. Ada yang datang membawa kayu, sayuran, rumput, dan batu.
Beberapa masyarakat lain ada juga yang menyiapkan lubang, mulai membakar batu-batu, dan ada pula yang memotong daging. Segala persiapan tersebut berlangsung sangat cepat.
Alas Rumput
Ketika batu-batu sudah membara di atas kayu yang dibakar, batu dimasukkan ke dalam lubang sedalam kurang lebih 50 cm. Tak lupa, mereka juga sudah menyiapkan alas rumput.
Selanjutnya, di atas batu kembali dimasukkan rumput atau sayuran. Setelah itu, baru diletakkan daging, betatas, hipere (ubi), dan pisang.
Selanjutnya, sayuran dan rumput dimasukkan kembali dengan tujuan untuk menutupnya. Kemudian, masyarakat akan meletakkan batu-batu di atas tumpukan tesebut.
Sambil menunggu daging matang, biasanya bupati dan para pejabat akan memberikan pidato dan imbauan. Saat mulai jam makan siang, sebagian masyarakat yang bertugas memasak pun segera membongkar lubang bakar batu.
Mereka mengiris daging yang besar-besar itu menjadi lebih kecil. Para perwakilan kelompok masyarakat kemudian mendatangi lubang bakar batu dan akan mendapat jatah untuk masing-masing kelompok.
Bakar batu sebenarnya merupakan tradisi Suku Dani di Pegunungan Tengah Papua. Sementara masyarakat Suku Lani biasa menyebut tradisi ini dengan nama lago lakwi.
Adapun di Wamena, bakar batu lebih dikenal dengan sebutan kit oba isago, sedangkan di Paniai disebut dengan mogo gapil. Masyarakat Papua pantai juga memiliki julukan tersendiri untuk tradisi ini, yaitu barapen.
Sumber : Liputan6