Sekretaris Jenderal Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi mengatakan pihaknya menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Dia menganggap sistem itu bakal merugikan perjuangan politik masyarakat adat.
“Proporsional tertutup jelas antidemokrasi dan antikedaulatan rakyat,” kata Rukka disela Rakernas AMAN ke-VII, di Kutei Lubuk Kembang, Rejang Lebong, Bengkulu, Sabtu, 18 Maret 2023.
Rukka mengatakan sejak 2007 masyarakat adat mulai meninggalkan gaya konfrontasi dalam gerakan memperjuangkan hak masyarakat adat. Sebagai gantinya, dalam setiap pemilu masyarakat adat berupaya mengirimkan wakil-wakilnya masuk ke dalam arena politik praktis.X
Strategi ini bertujuan supaya masyarakat adat memiliki perwakilan untuk memperjuangkan hak-haknya baik di pemerintahan maupun dewan. “Kami sadar kepentingan masyarakat adat tidak diakomodasi karena kami tidak ada di ruang-ruang pengambilan keputusan,” ujar dia.
Menurut Rukka, perubahan sistem pemilu ke sistem proporsional tertutup akan sangat berpengaruh terhadap gerakan politik ini. Meskipun mengirimkan wakilnya untuk maju dalam arena politik, kata dia, AMAN melarang anggotanya untuk menjadi pengurus partai.
Sistem proporsional tertutup, kata dia, akan membuat terpilihnya anggota legislatif tak lagi ditentukan oleh jumlah suara yang didapatkan si calon. Partai politik, kata dia, memiliki kuasa penuh dalam menentukan calon yang duduk di meja dewan. “Maka itu, perubahan sistem itu akan sangat berpengaruh terhadap perjuangan AMAN,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu soal sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu pemohon perkara adalah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas lima warga sipil, yakni Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Pemohon menilai sistem proporsional terbuka membuat pemilu diwarnai oleh calon legislatif pragmatis. “Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quoberupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal ‘populer dan menjual diri’ tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol,” kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir laman MK.
Mereka juga menilai sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik antar caleg. Mereka menilai, dalam pemilu seharusnya persaingan terjadi antar partai politik, bukan antar caleg. “Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.”